Senin, 20 April 2009

Derita Guru Honorer

Pemerintah Tidak Akan Memperhatikan Guru Honorer

Oleh Mamoru Nagano

Mungkin judul artikel ini seperti sebuah keputus asaan saya, tapi ini ungkapan derita hati seorang guru honor murni. Fakta yang terjadi selalu seperti itu. Mungkin juga timbul dari rasa tidak percaya lagi pada perhatian pemerintah kepada guru honor.

Seperti yang diberitakan Kompas 21 Oktober 2008. Sedikitnya 50.000 guru honorer yang tidak digaji dari APBN dan APBD. Para guru yang mengadu ke DPR itu tergabung dalam Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) dan Forum Guru Independen Indonesia (FGII).

Nasib mereka ini benar-benar tertekan kondisi ekonomi yang berat saat ini dengan hanya bergaji kurang lebih Rp. 75.000,- sampai Rp. 150.000,- sebulan. Bagaimana bisa menafkahi keluarganya? Apalagi menyekolahkan anaknya!

Pahlawan tanpa tanda jasa mungkin tepat untuk seorang guru honor. Banyak muncul juga berita-berita tentang sulitnya hidup seorang guru honor. Ketika telah menjadi isu di gedung dewan atau para pengambil keputusan di birokrasi, paling-paling kesejahteraan guru lagi-lagi hanya untuk guru PNS. Ini pasti akan berulang kali terjadi.

Menurut saya okelah pemerintah bisa saja mengabaikan guru honorer, tidak memperhatikan guru honorer, mensiasiakan guru honor murni ini, tetapi setidaknya pemerintah harus sudah mulai menentukan UMR untuk guru honor murni atau guru tidak tetap di berbagai sekolah swasta.

Jika seorang pekerja swasta di sebuah perusahaan bisa makmur, kenapa guru honor murni di swasta skarat. Intinya adalah karena para pekerja melalui serikat pekerja dapat secara efektif menekan pemerintah untuk memberikan upah minimum yang layak dan disesuaikan dengan perkembangan inflasi, sementara guru honor murni di swasta tidak. Seperti guru saya yang mengajar di sekolah swasta dari tahun 1990 sampai sekarang tidak terjadi peningkatan yang signifikan atas honor yang diberikan.

Dulu ketika tahun 1997 sebelum krisis seorang guru honor dibayar perjam mengajar sebesar Rp. 600,-, sekarang perjam mnengajar masih sekitar Rp. 1500,- perjam. Guru saya yang mengajar di sekolah lain dapat bayaran sebesar Rp. 2500,- per jam, masih lumayan dia, tetapi sebenarnya semuanya masih tidak layak. Sementara para pemilik yayasan bisa memiliki mobil dua atau tiga, bahkan sampai bisa membangun perguruan tinggi dari perputaran dana sekolah yang dimilikinya.

Seorang tukang beca saja sekarang ini dengan hanya sekali tarik dapat Rp. 5000,- tidak lebih dari 30 menit, bahkan hanya 15 saja mengantarkan pelanggannya.

Saya tahu pemerintah sangat pelit terhadap guru swasta, tetapi mengapa tidak juga memberikan kemudahan hidup kepada guru honorer dengan membuat kebijakan UMR untuk guru swasta? Apa bedanya pegawai swasta diperusahaan dengan seorang guru diswasta. Kedua-duanya kan sama-sama berjasa pada negeri ini.

Sebenarnya apa yang membuat guru swasta honorer begitu hina dimata para pengambil kebijakan dipemerintahan? Tidak hinakan mengkorup uang rakyat?

1 komentar:

  1. bener tuh,,
    sepakat bagaimana bangsa bisa maju kalau nasib pengajarnya tidak diperhatikan.

    BalasHapus