Jumat, 24 April 2009

Rusaknya Negeri Ini

Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, oleh karena itu, Negara Indonesia dikenal dunia sebagai Negara Islam. Secara kuantitas penduduknya, Indonesia bisa disebut Negara Islam, akan tetapi jika dilihat dari segi moral, pendidikan, ekonomi, sistim politik, dan kebudayaan, Indonesia bias digolongkan sebagai Negara sekuler. Tingkat kriminalitas di Negara ini cukup tingi, jumlah rakyat miskin juga tinggi, mutu pendidikan sangat rendah, sistim politik yang kacau, dan masih banyak lagi cacat jika Negara ini di sebut Negara Islam.

Indonesia menganut sistim demokrasi, yang secara teori memiliki asas"Dari rakyat, untuk rakyat". Jika dilihat dari kacamata sekuler, asas tersebut akan dapat menimbulkan keseimbangan dalam kehidupan. Sebuah peraturan akan berjalan jika objek hukumnya adalah sang pembuat aturan. Tidak mungkin dokter membuat aturan yang harus dijalankan oleh pedagang. Dalam demikrasi, cara pengambilan keputusan adalah dengan mufakat, jika tidak tercapai mufakat, maka diadakan polling sehingga keputusan yang didukung suara terbanyaklah yang menang, dan yang lainnya harus mematuhi keputusan tersebut.

Menurut logika, pernyataan tersebut benar. Namun, jika dilihat dari kacamata Islam, asas tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam dan memiliki banyak kekurangan. Cara jahiliyah tersebut sangat berbahaya jika diterapkan di Negara yang rusak. Negara tersebut pasti tidak bias bangkit dari keterprukannya. Jika dilihat dari dalil-dalil yang ada didalam qur’an Allah SWT berfirman :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa yang berhukum dengan selain hokum Allah maka mereka termasuk orang-orang yang dzolim (Al-maidah: 45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barangsiapa yang berhukum dengan selain hokum Allah maka mereka termasuk orang-orang yang fasiq (Al-maidah: 47)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang berhukum dengan selain hokum Allah maka mereka termasuk orang-orang yang kafir (Al-maidah: 44)

Ayat diatas sudah cukup untuk menjadi dalil bahwa berhukum dengan selain hokum Allah SWT hukumnya haram. Dibalik larangan tersebut banyak sekali terkandung hikmah. Bayangkan jika Anda memiliki seperangkat computer yang masih dalam bentuk prototype( belum dirakit) dan Anda belum tahu bagaimana merakit computer. Pasti Anda akan membuka buku panduan dari provider yang, karena dalam buku panduan tersebut terdapat langkah-langkan merakit computer. Tidak mungkin Anda asal merakit. Alih-alih computer tidak bisa nyala, bisa-bisa computer Anda mengakibatkan konslet dan menghanguskan segala peripheral computer. Sama seperti manusia yang hidup di bumi ciptaan Allah SWT ini. Manusia tidak bisa seenaknya membuat aturan, karena manusia bukan pencipta bumi, dan manusia belum mengenal selukbeluk bumi secara detail. Sehingga manusia butuh panduan untuk hidup tenang di bumi. Dan aturan tersebut adalah Qur’an dan Sunnah yang berisi aturan kehidupan manusia secara detail. Mulai dari hal yang kecil seperti adab makan hingga hal-hal yang kompleks seperti pemerintahan. Dalam masalah pemerintahan, Islam mengankat seseorang untuk dijadikan Imam (Khalifah). Imam tidak dipilih sembarangan. Ada syarat-syarat untuk menjadi imam.

Jika dibandingkan demokrasi dengan Islam, maka jelas demokrasi jauh lebih bobrok dibandingkan Islam. Jika di dalam Negara yang mayoritas penduduknya rusak dipraktikkan system demikrasi, maka pemimpin Negara tersebut adalah orang yang rusak, karena pemilihnya adalah orang-orang rusak, orang-orang baik tidak akan bisa menjadi peminpin Negara tersebut. Bagaimana Negara tersebut bisa maju jika pemimpinnya rusak. Sepertinya Negara Indonesia juga sedang mengalami hal seperti ini. Negara ini mayoritas orang-orang yang mengambil keputusan bermental koruptor, sehingga koruptor-korupter di Negara ini subur. Jika ingin maju, seharusnya Indonesia segera merubah sistemnya menjadi system Islam. Jika tidak, Negara ini tidak akan bangkit dari keterpurukan

Senin, 20 April 2009

Derita Guru Honorer

Pemerintah Tidak Akan Memperhatikan Guru Honorer

Oleh Mamoru Nagano

Mungkin judul artikel ini seperti sebuah keputus asaan saya, tapi ini ungkapan derita hati seorang guru honor murni. Fakta yang terjadi selalu seperti itu. Mungkin juga timbul dari rasa tidak percaya lagi pada perhatian pemerintah kepada guru honor.

Seperti yang diberitakan Kompas 21 Oktober 2008. Sedikitnya 50.000 guru honorer yang tidak digaji dari APBN dan APBD. Para guru yang mengadu ke DPR itu tergabung dalam Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) dan Forum Guru Independen Indonesia (FGII).

Nasib mereka ini benar-benar tertekan kondisi ekonomi yang berat saat ini dengan hanya bergaji kurang lebih Rp. 75.000,- sampai Rp. 150.000,- sebulan. Bagaimana bisa menafkahi keluarganya? Apalagi menyekolahkan anaknya!

Pahlawan tanpa tanda jasa mungkin tepat untuk seorang guru honor. Banyak muncul juga berita-berita tentang sulitnya hidup seorang guru honor. Ketika telah menjadi isu di gedung dewan atau para pengambil keputusan di birokrasi, paling-paling kesejahteraan guru lagi-lagi hanya untuk guru PNS. Ini pasti akan berulang kali terjadi.

Menurut saya okelah pemerintah bisa saja mengabaikan guru honorer, tidak memperhatikan guru honorer, mensiasiakan guru honor murni ini, tetapi setidaknya pemerintah harus sudah mulai menentukan UMR untuk guru honor murni atau guru tidak tetap di berbagai sekolah swasta.

Jika seorang pekerja swasta di sebuah perusahaan bisa makmur, kenapa guru honor murni di swasta skarat. Intinya adalah karena para pekerja melalui serikat pekerja dapat secara efektif menekan pemerintah untuk memberikan upah minimum yang layak dan disesuaikan dengan perkembangan inflasi, sementara guru honor murni di swasta tidak. Seperti guru saya yang mengajar di sekolah swasta dari tahun 1990 sampai sekarang tidak terjadi peningkatan yang signifikan atas honor yang diberikan.

Dulu ketika tahun 1997 sebelum krisis seorang guru honor dibayar perjam mengajar sebesar Rp. 600,-, sekarang perjam mnengajar masih sekitar Rp. 1500,- perjam. Guru saya yang mengajar di sekolah lain dapat bayaran sebesar Rp. 2500,- per jam, masih lumayan dia, tetapi sebenarnya semuanya masih tidak layak. Sementara para pemilik yayasan bisa memiliki mobil dua atau tiga, bahkan sampai bisa membangun perguruan tinggi dari perputaran dana sekolah yang dimilikinya.

Seorang tukang beca saja sekarang ini dengan hanya sekali tarik dapat Rp. 5000,- tidak lebih dari 30 menit, bahkan hanya 15 saja mengantarkan pelanggannya.

Saya tahu pemerintah sangat pelit terhadap guru swasta, tetapi mengapa tidak juga memberikan kemudahan hidup kepada guru honorer dengan membuat kebijakan UMR untuk guru swasta? Apa bedanya pegawai swasta diperusahaan dengan seorang guru diswasta. Kedua-duanya kan sama-sama berjasa pada negeri ini.

Sebenarnya apa yang membuat guru swasta honorer begitu hina dimata para pengambil kebijakan dipemerintahan? Tidak hinakan mengkorup uang rakyat?